Kandungan Nilai-Nilai Syariat Islam dalam Pancasila

Lahirnya Pancasila tak bisa dilepaskan dari peran Bung Karno. Sebagaimana  sejarah mencatat bahwa Pancasila pertama kali lahir dari buah pikirnya. Seba- gai negara baru, Indonesia saat itu membutuhkan dasar filosofis yang mampu  menyatukan  seluruh  elemen  bangsa  dalam  menjalankan  “roda”  yang  ber- nama negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato  yang menjadi dasar Indonesia merdeka. Diawali dengan mengemukakan apa  itu kemerdekaan dan sejarah bangsa-bangsa lain yang merdeka, Bung Karno  menekankan pentingnya keinginan untuk merdeka dari segenap rakyat, tanpa  dibumbui dengan hal-hal yang “njlimet” sebelum menyatakan kemerdekaan.  Ketika kita terlalu “bergulat” dalam menyiapkan sesuatu yang “njlimet” terse- but  maka  akan  berakibat  pada  ketakutan  dan  ketidaksiapan  untuk  menjadi  bangsa merdeka. Padahal, satu hal yang diperlukan dalam menyiapkan ke- merdekaan bangsa adalah menemukan kesamaan pandangan, ideologi, dan la- tar belakang sebagai sebuah bangsa Indonesia. Merdeka adalah ketetapan hati  seluruh rakyat, menjadi jiwa yang merdeka tidak hanya kemerdekaan badan.  Salah seorang pembicara pernah berkata, “Kita bangsa Indonesia tidak sehat  badan, banyak sakit Malaria, banyak disentri, banyak hongerudeem, banyak ini 


206     Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus 2013

 

dan itu, ‘sehatkan dulu bangsa kita’, baru kemudian merdeka.”1 Soekarno pun  saat itu mengemukakan argumennya bahwa jika harus menyelesaikan itu se- mua terlebih dahulu, 20 tahun lagi pun Indonesia tak akan merdeka. Di dalam  Indonesia yang merdeka-lah kita menyehatkan rakyat kita. 

Pernyataan tersebut memang benar adanya, hukum internasional pun ha- nya mensyaratkan pembentukan negara dengan tiga unsur dasar, yaitu rakyat,  bumi,  dan  pemerintah.  Artinya,  ketiga  modal  dasar  itu  telah  dimiliki  oleh  Indonesia saat itu untuk menjadi negara merdeka. Adapun persoalan dasar  negara bisa diatur di kemudian hari. Persoalan Indonesia merdeka didirikan atas  dasar apa menjadi fokus utama dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Lagi-lagi  Bung Karno belajar dari sejarah-sejarah bangsa lain yang sudah merdeka dalam  merumuskan dasar negaranya. Jerman di bawah kepemimpinan Nazi-Adolf  Hitler, dasar negara yang dirumuskannya tidak dalam 10 hari saja, melainkan  sudah dirumuskan berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Dasar negara Indonesia  pun hendaknya merupakan berasal dari dalam diri Indonesia sendiri, digali  dari  kedalaman  filosofis  murni  kehidupan  bermasyarakat  Indonesia,  bukan  dari ajaran luar.

Akan tetapi, kini Pancasila menghadapi tantangan yang cukup berat. Nilai- nilai luhur Pancasila kian tergerus oleh zaman, baik dalam tata kelola pemerin- tahan maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Padahal,  Pancasila merupakan roh bangsa yang semakin dibutuhkan untuk menghada- pi tantangan dan persoalan bangsa ini.2 Ketegangan dan konflik kedaerahan  kerap menghiasi berita di koran-koran dalam negeri. Takdir sebagai bangsa  dengan pluralitas semakin luntur. Padahal sejarah telah menunjukkan bahwa  pluralitas dan kebhinekaan Indonesia disatukan dan diikat oleh Pancasila se- bagai dasar negara.

 

 

 

 

 

1    Daras, Roso. TT. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945; Lahirnya Pancasila  (ke-1). Dalam inter- net  online:  http://rosodaras.wordpress.com/2010/05/29/pidato-bung-karno-1-juni-1945- lahirnya-pancasila-ke-1-2/

2    Kompas. 2013. Pancasila Makin Dibutuhkan Bangsa Ini. Surat Kabar Harian Kompas;  Edisi, Minggu, 2 Juni 2013. hal. 1


                                                                  Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam      207

Jalan Panjang Pancasila Menjadi Dasar Negara Indonesia

Penerimaan Pancasila saat itu bukanlah serta merta diterima begitu saja se- bagai dasar negara, banyak perdebatan di antara berbagai kalangan sebelum  akhirnya  Pancasila  diputuskan  dan  diakui  sebagai  dasar  negara.  Kalangan  negarawan muslim Indonesia tidak menyetujui karena nilai-nilai syariat Islam  belum terakomodasi, baik secara implisit maupun eksplisit dalam sila-silanya.  Kemudian pada perkembangannya, Pancasila dianggap sebagai akar dari per- soalan kekisruhan bangsa ini sehingga muncul kelompok fundamentalis dan  ekstremis yang menginginkan syariat Islam menjadi dasar negara.

Ali Syahbana dalam tulisannya mengatakan bahwa ketika kita melihat se- jarah, Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh tokoh nasional saja. Ada tokoh  ulama yang ikut serta dalam proses penyusunan dasar negara tersebut, seperti  KH. Wahid Hasyim dari kalangan NU maupun ulama lain dari kalangan Mu- hammadiyah. Kehadiran para tokoh ulama tersebut tentunya mewarnai dan  berdampak pada rumusan Pancasila yang Islami, yaitu Pancasila yang menam- pakkan ke-rahmatan lil ‘alamin ajaran Islam, bukan Pancasila yang jauh dari dan  sepi dari nilai-nilai keislaman.3 

Buku ini memang bukan buku sejarah seperti yang telah diungkapkan oleh  penulis karena tidak ditulis berdasarkan teori-teori sejarah. Akan tetapi, seja- rah tak bisa dilepaskan begitu saja sebagai pendukung data dalam buku ini  sebagaimana diakui sendiri oleh penulis. Penulis dalam buku tersebut men- coba mengupas dan menginterpretasi nilai syariat Islam yang terkandung da- lam Pancasila dengan tujuan untuk menggugah kembali kesadaran masyarakat  Indonesia,  khususnya  kalangan  muslim  bahwa  nilai-nilai  yang  terkandung  dalam Pancasila baik secara tekstual maupun kontekstual tidak bertentangan  dengan nilai-nilai syariat Islam. Dengan jeli, guru besar UIN Alauddin Makasar  ini mengkontekstualisasikan nilai-nilai yang tersirat di dalam Pancasila dengan  ajaran Islam. 

Buku ini memiliki fokus kajian teologis mengenai sejauh mana Pancasila 1  Juni 1945 itu memiliki nilai religiusitas keislaman. Misalnya sila pertama Pan- casila 1 Juni 1945 adalah kebangsaan, merupakan kajian untuk mengungkap 

3    Syahbana,  Ali.  2012.  Pancasila  dan  Keluwesan  Ajaran  Islam.  Dalam  internet  online:  http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159-lang,id-c,kolom-t,Pancasi la+dan+Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx Diakses tanggal, 22-2-2013.


208     Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus 2013

 

sisi kebangsaan menurut syariat yang selama ini menjadi pertentangan dan  perdebatan. Kebangsaan atau nasionalisme Indonesia sama sekali tidak berten- tangan dengan nilai syariah, bahkan dalam arti luhur nasionalisme itu sendiri  disyariatkan oleh Allah Swt. Negara ini dibangun atas dasar kesamaan kebang- saan, bukan atas kesamaan agama atau yang lainnya sehingga sila kebangsaan  menjadi sila pertama pada pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 (Hlm. Xii).  Demikian juga pada sila-sila lain dalam Pancasila, meskipun susunannya ke- mudiah berubah.

 

Nilai Syariat Islam dalam Tiap Sila Pancasila

Menurut Prof. Hamka Haq–penulis buku, kesadaran masyarakat perlu ditum- buhkan di tengah-tengah menurunnya rasa tanggung jawab dalam mengamal- kan  dan  menjalankan  Pancasila  karena  perasaan  khawatir  bahwa  Pancasila  bertentangan  dengan  nilai  syariat  Islam.  Pancasila  merupakan  pengejawan- tahan dari ajaran Islam. Islam adalah agama rahmah bagi sekalian alam, men- cintai  kerukunan,  toleransi,  keadilan,  gender,  dan  semua  sendi  kehidupan  dunia. Sebagai rujukan untuk mengetahui nilai-nilai syariat dalam tiap butir  Pancasila yang bersumber dari pidato bung Karno 1 Juni 1945, buku ini layak  untuk dibaca. Itulah nilai lebih dari buku ini di samping nilai-nilai lain, se- perti titik temu antara Pancasila 1 Juni dengan syariat Islam sehingga tuduhan  yang mempertentangkan antara syariat dan kebangsaan dapat terbantahkan.  Indonesia didirikan dengan dasar Pancasila yang menganut asas kebangsaan,  artinya dasar kesamaan sebagai bangsa Indonesia, bukan atas dasar kesamaan  agama, etnis, atau budaya. Nilai-nilai syariat Islam secara implisit dan eksplisit  terdapat pada masing-masing sila dalam pancasila. Melalui buku ini, penulis  juga melakukan kritik nalar terhadap kelompok yang selalu mengagendakan  negara dengan syariat Islam.

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk menguak teka-teki dibalik  perumusan Pancasila oleh Bung Karno, ia bukanlah tidak menghargai ajaran  Islam, melainkan ialah yang memasukkan “spirit” Islam dalam Pancasila. Hal  yang paling jelas memperlihatkan “spirit” Islam menurutnya adalah sila perta- ma–Ketuhanan Yang Maha Esa”. 


                                                                  Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam      209

 

a.     Sila Pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa

Banyak kalangan yang menghendaki agama mayoritas–Islam–menjadi dasar  negara, tetapi hal itu ditentang oleh kelompok lain yang menilai bahwa ada  hak-hak pemeluk agama lain yang minoritas. Sangat penting untuk mengakui  bahwa ada kelompok minoritas dari kewarganegaraan sehingga tidak terjadi  diskriminasi. Sila pertama ini ditetapkan sebagai alternatif dari pembentukan  Islam. Sila pertama ini menjamin hak-hak pemeluk agama lain, sejauh agama  itu diakui oleh negara.4 Membangun Indonesia merdeka bukan berdasar atas  kesamaan keagamaan, tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang  menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan.

Sila pertama ini memang diakui baik secara langsung maupun tidak lang- sung adalah cerminan dari ajaran Islam. Tuhan dalam agama Islam adalah Esa,  tidak ada yang menandingi ataupun menyekutui-Nya. Ketuhanan Yang Maha  Esa mengandung arti bahwa meskipun Indonesia bukan negara agama, tetapi  agama merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan  negara. Penduduk yang beragama tentu memiliki ajaran luhur yang menjadi- kan pemeluknya selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran selama mengi- kuti ajaran agamanya. Indonesia bukanlah negara sekuler yang tidak mengakui  agama dalam pemerintahannya, dan bukan negara agama yang menjadikan  agama mayoritas sebagai agama negara. Melainkan, sebagai negara berketu- hanan Yang Maha Esa yang mengakui agama sebagai spirit dalam penyeleng- garaan negara.

Soekarno menegaskan bahwa kemerdekaan yang dimiliki oleh Indonesia  ini adalah berkah dan rahmat dari Tuhan. Maka dari itu, prinsip ketuhanan tak  bisa lepas dari dasar negara Indonesia. Indonesia dengan beragam pemeluk  agama hendaknya bertuhan secara berkeadaban, artinya saling menghormati  satu sama lain antar pemeluk agama yang berbeda. Sebagaimana yang diung- kapkannya pada pidato 1 Juni 1945:

Prinsip yang kelima hendaknya; Menyusun Indonesia merdeka de-
ngan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi 
masing-masing  orang  Indonesia  hendaknya  bertuhan  Tuhannya 
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-

 

4    Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani. hal.181 


210     Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus 2013

 

Masih. Yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad  Saw.  Orang  Budha  menjalankan  ibadahnya  menurut  kitab-kitab  yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hen- daknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat  menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat  hendaknya  ber-Tuhan  secara  kebudayaan,  yakni  tiada  eogisme- agama.  Dan  hendaknya  Negara  Indonesia  satu  negara  yang  ber- Tuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun  Kristen  dengan  cara  berkeadaban.  Apakah  cara  berkeadaban  itu?  Ialah hormat menghormati satu sama lain.5

 

Pada teks pidato yang dibacakan Soekarno di depan BPUPKI ini menem- patkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila terakhir dan menempatkan  sila Kebangsaan pada sila pertama. Penempatan urutan ini banyak menyim- pan teka-teki bagi seluruh warga dari dulu hingga sekarang, bahkan beberapa  kalangan menuduh bahwa Soekarno adalah pemikir sekuler. Bagi kalangan  normatif-tekstualis, penempatan sila Ketuhanan pada urutan terakhir kurang  tepat, sila Ketuhanan merupakan primakausa dari sila-sila lainnya (hal.129). 

Terlepas dari itu semua, Hamka Haq–penulis secara lugas menerangkan  dalam bukunya bahwa Soekarno tidak bermaksud “menyepelekan” urut-urut- an dengan menempatkan sila Ketuhanan pada sila terakhir. Bila melihat pe- nempatan sila Ketuhanan ini dari sisi kaca mata filsafat, Bung Karno meman- dang bahwa Ketuhanan merupakan final cause/ultimate cause yang menjadikan  Tuhan merupakan tujuan akhir dari pengamalan dan pengabdian manusia di  dunia. Mengagungkan Tuhan tidaklah harus menempatkan atau menyebut na- manya di awal kalimat. Dalam ideologi Islam, menyebut nama Tuhan, baik di  awal maupun di akhir tidaklah menjadi masalah bagi-Nya, karena semua arah  dan tempat adalah milik-Nya. Sebagaimana bunyi firman-Nya: 

Dialah  yang  Awal  dan  yang  akhir  yang  Zhahir  dan  yang 
Bathin; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Ha-
diid [57]: 3). (Hlm.132).

Keselarasan sila pertama Pancasila dengan syariat Islam terlihat dalam al-
Qur’an yang mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan

 

5    Pidato Bung Karno di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tanggal 1 Juni 1945 di Ja- karta. Dalam Hamka Haq. 2011. Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam. Jakarta: RM Books


                                                                  Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam      211

 

seperti dalam Surat al-Baqarah, ayat 163 yang memiliki arti; Dan Tuhan kamu itadalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagMaha Penyayang”.6 Konsep ini menunjukkan bahwa dasar kehidupan bernegara rakyaIndonesia adalah ketuhanan. Di dalam Islam, konsep ini biasa disebut hablum min Allayang merupakan esensi dari tauhid berupa hubungan manusia dengan Allah Swt.7

 

b.     Sila Kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila  kedua  dari  Pancasila  ini  menunjukkan  bahwa  bangsa  Indonesia  meng- hargai dan menghormati hak-hak yang melekat dalam diri pribadi manusia  tanpa terkecuali. Jika hubungan manusia dengan Tuhannya ditunjukkan pada  sila pertama, maka hubungan sesama manusia ditunjukkan pada sila kedua.  Konsep Hablum min an-nass (hubungan sesama manusia) dalam bentuk saling  menghargai sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang beradab.  Tidak ada perbedaan dalam hak dan kewajiban sebagai sesama manusia ciptaan  Tuhan, artinya tidak boleh ada diskriminasi antar umat manusia. Berperilaku  adil dalam segala hal merupakan prinsip kemanusian yang terdapat dalam sila  kedua Pancasila, prinsip ini terlihat dalam ayat al-Qur’an surat al-Maa’idah,  ayat 8 yang artinya: 

“Hai  orang-orang  yang  beriman  hendaklah  kamu  jadi  orang-oran
yang selalu menegakkan (kebenaran). Karena Allah, menjadi saksi de-
ngan  adil  dan  janganlah  sekali-kali  kebencianmu  terhadap  sesuat
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, ka-
rena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS
al-Maa’idah [5]: 8).

 

c.     Sila Ketiga: Persatuan Indonesia

Persatuan Indonesia yang merupakan bunyi sila ketiga Pancasila menunjuk- kan kepada dunia bahwa persatuan merupakan dasar dibentuknya negara In-

 

 


6    Syahbana, Ali. 2012. Pancasila dan Keluwesan Ajaran. Dalam internet online: http:// www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159-lang,id-c,kolom-t,Pancasila+dan +Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx .Diakses tanggal, 22-2-2013.

7    Muttaqien, Sabilul. 2011. Keselarasan Nilai-Nilai Pancasila Dengan Ajaran Islam. Dalam  internet     online:     http://blog.uin-malang.ac.id/dargombes/indonesia/keselarasan-nilai- nilai-pancasila-dengan-ajaran-islam/index.html


212     Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus 2013

 

donesia. Persatuan Indonesia bukan dalam arti sempit saja, tetapi dalam arti  luas bahwa seluruh penduduk Indonesia diikat oleh satu kesatuan geografis  sebagai negara Indonesia. Adapun konsep persatuan dalam bingkai ajaran Is- lam meliputi Ukhuwah Islamiyah (persatuan sesama muslim) dan juga Ukhuwah  Insaniyah  (persatuan  sebagai  sesama  manusia).  Kedua  konsep  tersebut  hen- daknya berjalan beriringan agar tercipta masyarakat yang harmonis dan jauh  dari perpecahan dan pertikaian karena perbedaan agama, suku, maupun ras.  Islam selalu menganjurkan pentingnya persatuan sebagaimana tercantum da- lam al-Qur’an; 

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Al-
lah,  dan  janganlah  kamu  bercerai  berai,  dan  ingatlah  akan 
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) 
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu 
menjadilah  kamu  Karena  nikmat  Allah,  orang-orang  yang 
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu 
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah 
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat 
petunjuk.” (Q.S. Ali Imran [3]: 103).

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab 
itu,  damaikanlah  (perbaikilah  hubungan)  antara  kedua  sau-
daramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu menda-
pat rahmat.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 10).

d.     Sila Keempat; Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan  dalam Permusyawaratan dan Perwakilan

Sila  keempat  Pancasila  yang  menekankan  pentingnya  kehidupan  yang  di- landasi  oleh  musyawarah  memang  selaras  dengan  nilai  luhur  dalam  ajaran  Islam.  Sikap  bijak  dalam  menyelesaikan  suatu  masalah  adalah  dengan  ber- musyawarah.  Musyawarah  merupakan  jalan  terbaik  dalam  mencari  solusi  dimana masing-masing pihak berdiri sama tinggi tanpa ada perbedaan. Hasil  dari musyawarah pun merupakan kesepakatan bersama yang harus dijalankan  dengan penuh keikhlasan. Konsep Islam mengenai musyawarah dalam me- nyelesaikan sebuah permasalahan dikenal dengan nama syuura (musyawarah).  Konsep ini tercermin dalam beberapa surat dalam al-Qur’an, salah satunya da- lam Surat Ali Imron, ayat 159:


                                                                  Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam      213

 

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lem- but  terhadap  mereka.  sekiranya  kamu  bersikap  keras  lagi  berhati  kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena  itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan ber- musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apa- bila kamu tlah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Al- lah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal  kepada-Nya.” (QS. Ali Imron [3]: 159).

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tu- hannya  dan  mendirikan  shalat,  sedang  urusan  mereka  (diputus- kan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan  sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. asy- Syuura [42]: 38).

 

e.     Sila Kelima; Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia 

Dalam  setiap  sila  Pancasila  ternyata  mengandung  nilai-nilai  keislaman,  se- bagaimana sila kelima yang mengisyaratkan adanya keadailan dalam proses  penyelenggaraan negara. Keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat  Indonesia tanpa terkecuali oleh adanya perbedaan agama, ras, dan sebagainya.  Ajaran Islam memuat berbagai konsep mengenai keadilan, baik adil terhadap  diri sendiri maupun orang lain. Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, misi  besar Islam adalah implementasi keadilan dalam segala sendi kehidupan. Oleh  sebab itu, Islam memerintahkan umat muslim untuk selalu berbuat adil dalam  segala hal dan menghindari pertikaian serta permusuhan agar tatanan sosial  masyarakat dapat tercipta dengan baik. Sila kelima yang menekankan pada  keadilan  sosial  sejatinya  merupakan  cerminan  dari  konsep  Islam  mengenai  keadilan. Mengenai keadilan dalam ajaran Islam dapat dilihat pada al-Qur’an;

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat 
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari 
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi penga-
jaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. an-
Nahl [16]: 90)


214     Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus 2013

Pancasila Bukanlah Sesuatu yang Sakral

Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa Pancasila bukanlah sesuatu yang harus  disakralkan, ia adalah buatan manusia yang tak lepas dari kekurangan. Pen- sakralan dan penyalahtafsiran yang terjadi selama ini akibat keegoan masing- masing penguasa dalam usaha untuk melanggengkan kekuasaannya di bumi  pertiwi. Dalam hal ini, bukan berarti Pancasila tidak relevan dengan Indonesia  sekarang sehingga harus diganti demi menata kembali negara ini. Pancasila  tetap sesuatu yang kontekstual selama ia diposisikan sebagai dasar negara tan- pa penafsiran yang sarat kepentingan individu. Kembali untuk selalu diingat  bahwa lahirnya Pancasila adalah untuk menyatukan seluruh warga negara In- donesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).

 

Penutup 

Pada kesimpulan yang diambil dari buku ini, Pancasila sebagai dasar negara  atau ideologi negara tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Se- bagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam), Islam sangat  relevan dan fleksibel dalam segala bidang kehidupan. Islam mengatur segala  para pemeluknya dalam segala hal, baik itu kehidupan individu maupun sosial  kemasyarakatan. Kedalaman nilai filosofis Pancasila yang merupakan perwu- judan dari nilai-nilai ajaran Islam hendaknya memperkuat posisi kita sebagai  negara Indonesia yang beragama. Beragama yang berkeadaban dengan meng- hormati  semua  pemeluk  agama  yang  ada,  sebagaimana  yang  dicita-citakan  oleh Bung Karno.  Oleh  sebab  itu,  kita  sebagai  warga  negara Indonesia dan  masyarakat  yang  beragama  senantiasa  melaksanakan,  menjaga,  dan  meng- aplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, ber- masyarakat, dan beragama.

Buku ini bukanlah buku yang sempurna dan lepas dari berbagai kesala- han, masih terdapat beberapa kekurangan yang menjadi yang perlu diperbaiki  dalam cetakan selanjutnya. Ada banyak kesalahan mendasar berupa kesalahan  typo sehingga mengganggu kenyamanan dalam membaca, di antaranya: ber- tentanagan, mengeritik (hal.18), lieratur (hal. 23), sebahagian (hal. 28, 30, 36, 40, 50,  75, 106, 107), besemilah (hal. 46), bahagian (hal. 51, 175, 184), bukanlan (hal. 70),  pemandangarn (hal. 81), politk (hal. 83), kiyai (hal. 108), dialamai (hal.114), yarat 


                                                                  Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam      215

 

(hal.151), sesame (hal. 162), apatah lagi (hal. 163), dianataramu (hal. 188), sepanjag  (hal. 192), washiat (hal. 199), shabat (hal. 212). 

       Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada, buku ini menambah kha- zanah pemahaman mengenai Pancasila dalam kaitannya dengan Islam. Perde- batan yang selalu dinamis antara Pancasila dan Islam menjadikan dua hal terse- but selalu menarik untuk selalu dikaji agar tidak terjadi friksi berkepanjangan  di antara penduduk Indonesia. Kesatuan yang mengikat bangsa Indonesia se- bagai sebuah negara hendaknya selalu dijaga demi keutuhan bangsa. Pro dan  kontra akan selalu terjadi karena Pancasila bukanlah kitab suci atau sesuatu  yang sakral, ia adalah hasil rumusan manusia yang bagaimanapun juga nilai- nilai yang terkandung di dalamnya selaras dengan kandungan ajaran Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Daras, Roso. TT. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945; Lahirnya Pancasila  (ke-1). Dalam 

internet online: http://rosodaras.wordpress.com/2010/05/29/pidato- bung-karno-1-juni-1945-lahirnya-pancasila-ke-1-2/

Haq, Hamka. 2011. Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam. Jakarta: RM Books

Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani
Syahbana,  Ali.  2012.  Pancasila  dan  Keluwesan  Ajaran.  Dalam  internet  online: 

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159- lang,id-c,kolom-t,Pancasila+dan+Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx. Di- akses tanggal, 22-2-2013.

Muttaqien, Sabilul. 2011. Keselarasan Nilai-Nilai Pancasila Dengan Ajaran Islam.  Dalam  internet  online:  http://blog.uin-malang.ac.id/dargombes/in- donesia/keselarasan-nilai-nilai-pancasila-dengan-ajaran-islam/index. html

Kompas. 2013. Pancasila Makin Dibutuhkan Bangsa Ini. Surat Kabar Harian Kom- pas; Edisi, Minggu, 2 Juni 2013. hal. 1


 

Comments

Popular Posts