Kandungan Nilai-Nilai Syariat Islam dalam Pancasila
Lahirnya Pancasila tak bisa dilepaskan dari peran Bung Karno. Sebagaimana sejarah mencatat bahwa Pancasila pertama kali lahir dari buah pikirnya. Seba- gai negara baru, Indonesia saat itu membutuhkan dasar filosofis yang mampu menyatukan seluruh elemen bangsa dalam menjalankan “roda” yang ber- nama negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato yang menjadi dasar Indonesia merdeka. Diawali dengan mengemukakan apa itu kemerdekaan dan sejarah bangsa-bangsa lain yang merdeka, Bung Karno menekankan pentingnya keinginan untuk merdeka dari segenap rakyat, tanpa dibumbui dengan hal-hal yang “njlimet” sebelum menyatakan kemerdekaan. Ketika kita terlalu “bergulat” dalam menyiapkan sesuatu yang “njlimet” terse- but maka akan berakibat pada ketakutan dan ketidaksiapan untuk menjadi bangsa merdeka. Padahal, satu hal yang diperlukan dalam menyiapkan ke- merdekaan bangsa adalah menemukan kesamaan pandangan, ideologi, dan la- tar belakang sebagai sebuah bangsa Indonesia. Merdeka adalah ketetapan hati seluruh rakyat, menjadi jiwa yang merdeka tidak hanya kemerdekaan badan. Salah seorang pembicara pernah berkata, “Kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak sakit Malaria, banyak disentri, banyak hongerudeem, banyak ini
206 Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus
2013
dan itu, ‘sehatkan dulu bangsa
kita’, baru kemudian merdeka.”1 Soekarno pun saat itu
mengemukakan argumennya bahwa jika harus menyelesaikan itu se- mua terlebih dahulu, 20 tahun lagi pun Indonesia tak akan merdeka.
Di dalam Indonesia yang merdeka-lah kita
menyehatkan rakyat kita.
Pernyataan
tersebut memang benar adanya, hukum internasional pun ha- nya mensyaratkan pembentukan negara dengan tiga unsur dasar,
yaitu rakyat, bumi, dan pemerintah. Artinya, ketiga modal dasar itu telah dimiliki oleh Indonesia
saat itu untuk
menjadi negara merdeka.
Adapun persoalan dasar
negara bisa diatur
di kemudian hari.
Persoalan Indonesia merdeka
didirikan atas dasar apa menjadi
fokus utama dalam
pidato Bung Karno
1 Juni 1945. Lagi-lagi Bung Karno belajar
dari sejarah-sejarah bangsa
lain yang sudah merdeka dalam
merumuskan dasar negaranya. Jerman di bawah
kepemimpinan Nazi-Adolf Hitler, dasar negara yang dirumuskannya tidak
dalam 10 hari saja, melainkan sudah dirumuskan berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Dasar negara Indonesia
pun hendaknya merupakan
berasal dari dalam diri Indonesia
sendiri, digali dari kedalaman filosofis murni kehidupan bermasyarakat Indonesia, bukan dari ajaran luar.
Akan tetapi,
kini Pancasila menghadapi tantangan yang cukup berat. Nilai- nilai luhur Pancasila kian tergerus oleh zaman, baik dalam tata kelola pemerin- tahan
maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Padahal, Pancasila merupakan roh bangsa yang semakin
dibutuhkan untuk menghada- pi tantangan dan persoalan bangsa ini.2
Ketegangan dan konflik
kedaerahan kerap menghiasi berita di koran-koran dalam negeri. Takdir
sebagai bangsa dengan pluralitas semakin luntur. Padahal
sejarah telah menunjukkan bahwa
pluralitas dan kebhinekaan Indonesia disatukan dan diikat oleh Pancasila
se-
bagai dasar negara.
1 Daras,
Roso. TT. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945; Lahirnya
Pancasila (ke-1).
Dalam inter- net online: http://rosodaras.wordpress.com/2010/05/29/pidato-bung-karno-1-juni-1945-
lahirnya-pancasila-ke-1-2/
2 Kompas. 2013. Pancasila Makin Dibutuhkan Bangsa Ini. Surat Kabar Harian Kompas;
Edisi, Minggu, 2 Juni 2013. hal.
1
Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam 207
Jalan Panjang Pancasila
Menjadi Dasar Negara Indonesia
Penerimaan Pancasila saat itu bukanlah serta
merta diterima begitu
saja se- bagai dasar negara,
banyak perdebatan di antara berbagai
kalangan sebelum akhirnya Pancasila diputuskan dan diakui sebagai dasar negara. Kalangan negarawan muslim Indonesia tidak menyetujui
karena nilai-nilai syariat Islam belum
terakomodasi, baik secara implisit maupun eksplisit dalam sila-silanya. Kemudian pada perkembangannya, Pancasila
dianggap sebagai akar dari per- soalan kekisruhan bangsa ini sehingga muncul
kelompok fundamentalis dan
ekstremis yang menginginkan syariat Islam menjadi dasar negara.
Ali
Syahbana dalam tulisannya mengatakan bahwa ketika kita melihat se- jarah, Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh tokoh nasional saja.
Ada tokoh ulama yang ikut serta dalam proses penyusunan dasar negara tersebut,
seperti KH. Wahid Hasyim dari
kalangan NU maupun ulama lain dari kalangan Mu- hammadiyah. Kehadiran
para tokoh ulama tersebut tentunya
mewarnai dan berdampak pada rumusan
Pancasila yang Islami,
yaitu Pancasila yang menam- pakkan ke-rahmatan lil ‘alamin ajaran Islam, bukan Pancasila yang jauh dari dan sepi dari nilai-nilai keislaman.3
Buku ini memang bukan buku sejarah
seperti yang telah diungkapkan oleh
penulis karena tidak ditulis berdasarkan teori-teori sejarah. Akan
tetapi, seja-
rah tak bisa dilepaskan begitu saja sebagai
pendukung data dalam buku ini
sebagaimana diakui sendiri
oleh penulis. Penulis
dalam buku tersebut
men-
coba mengupas dan menginterpretasi nilai syariat Islam
yang terkandung da-
lam Pancasila dengan
tujuan untuk menggugah kembali kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya kalangan muslim bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila baik secara tekstual maupun
kontekstual tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Dengan jeli, guru besar UIN Alauddin Makasar
ini mengkontekstualisasikan nilai-nilai yang tersirat di dalam Pancasila
dengan ajaran Islam.
Buku
ini memiliki fokus kajian teologis mengenai sejauh mana Pancasila 1 Juni 1945 itu memiliki nilai religiusitas
keislaman. Misalnya sila pertama Pan- casila 1 Juni 1945 adalah kebangsaan, merupakan kajian untuk mengungkap
3 Syahbana, Ali. 2012. Pancasila dan Keluwesan Ajaran Islam. Dalam internet online: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159-lang,id-c,kolom-t,Pancasi
la+dan+Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx Diakses tanggal, 22-2-2013.
208 Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus
2013
sisi kebangsaan menurut syariat
yang selama ini menjadi pertentangan dan perdebatan. Kebangsaan atau nasionalisme Indonesia sama sekali tidak
berten-
tangan dengan nilai syariah, bahkan dalam arti luhur
nasionalisme itu sendiri disyariatkan oleh Allah Swt. Negara ini dibangun atas dasar kesamaan
kebang-
saan, bukan atas kesamaan agama
atau yang lainnya sehingga sila kebangsaan
menjadi sila pertama
pada pidato lahirnya
Pancasila 1 Juni 1945 (Hlm. Xii). Demikian juga pada sila-sila lain dalam
Pancasila, meskipun susunannya ke- mudiah berubah.
Nilai Syariat Islam dalam
Tiap Sila Pancasila
Menurut Prof. Hamka Haq–penulis
buku, kesadaran masyarakat perlu ditum- buhkan di tengah-tengah menurunnya rasa tanggung jawab dalam mengamal- kan dan menjalankan Pancasila karena perasaan khawatir bahwa Pancasila bertentangan dengan nilai syariat Islam. Pancasila merupakan pengejawan- tahan dari ajaran Islam. Islam adalah agama rahmah bagi sekalian alam, men- cintai kerukunan, toleransi, keadilan, gender, dan semua sendi kehidupan dunia. Sebagai rujukan
untuk mengetahui nilai-nilai syariat dalam tiap butir Pancasila yang bersumber dari pidato bung
Karno 1 Juni 1945, buku ini layak untuk dibaca.
Itulah nilai lebih dari buku ini di samping nilai-nilai lain, se- perti titik temu antara Pancasila 1 Juni dengan syariat Islam
sehingga tuduhan yang mempertentangkan antara syariat dan kebangsaan dapat
terbantahkan. Indonesia didirikan
dengan dasar Pancasila yang menganut asas kebangsaan, artinya
dasar kesamaan sebagai bangsa Indonesia, bukan atas dasar kesamaan agama, etnis, atau budaya.
Nilai-nilai syariat Islam
secara implisit dan eksplisit terdapat pada masing-masing sila dalam
pancasila. Melalui buku ini, penulis
juga melakukan kritik nalar terhadap kelompok yang selalu
mengagendakan negara dengan syariat
Islam.
Tujuan dari penulisan buku ini adalah
untuk menguak teka-teki dibalik perumusan
Pancasila oleh Bung Karno, ia bukanlah tidak menghargai ajaran Islam, melainkan ialah yang memasukkan
“spirit” Islam dalam Pancasila. Hal yang paling jelas memperlihatkan “spirit” Islam menurutnya adalah sila perta- ma–Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam 209
a. Sila Pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa
Banyak kalangan yang menghendaki agama mayoritas–Islam–menjadi dasar
negara, tetapi hal itu ditentang oleh kelompok lain yang menilai
bahwa ada hak-hak pemeluk agama lain yang minoritas.
Sangat penting untuk mengakui bahwa ada
kelompok minoritas dari kewarganegaraan sehingga tidak terjadi diskriminasi. Sila pertama ini ditetapkan
sebagai alternatif dari pembentukan Islam.
Sila pertama ini menjamin hak-hak pemeluk agama lain, sejauh agama itu diakui oleh negara.4 Membangun Indonesia
merdeka bukan berdasar atas kesamaan keagamaan, tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menganugerahi bangsa Indonesia dengan
kemerdekaan.
Sila
pertama ini memang diakui baik secara langsung maupun tidak lang- sung adalah cerminan
dari ajaran Islam. Tuhan dalam agama Islam adalah Esa, tidak ada yang menandingi ataupun
menyekutui-Nya. Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung arti bahwa meskipun Indonesia bukan negara agama, tetapi agama merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan negara. Penduduk yang beragama tentu memiliki
ajaran luhur yang menjadi- kan pemeluknya selalu berada
dalam kebaikan dan kebenaran selama mengi- kuti ajaran agamanya. Indonesia
bukanlah negara sekuler
yang tidak mengakui
agama dalam pemerintahannya, dan bukan negara
agama yang menjadikan agama mayoritas sebagai
agama negara. Melainkan, sebagai negara berketu- hanan
Yang Maha Esa yang mengakui agama sebagai spirit dalam penyeleng- garaan negara.
Soekarno
menegaskan bahwa kemerdekaan yang dimiliki oleh Indonesia ini adalah berkah dan rahmat dari Tuhan. Maka dari itu, prinsip
ketuhanan tak bisa lepas dari dasar negara
Indonesia. Indonesia dengan
beragam pemeluk agama hendaknya bertuhan secara berkeadaban,
artinya saling menghormati satu sama
lain antar pemeluk agama yang berbeda. Sebagaimana yang diung- kapkannya pada pidato 1 Juni 1945:
Prinsip yang kelima hendaknya; Menyusun
Indonesia merdeka de-
ngan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip ketuhanan! Bukan
saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al-
4 Vickers,
Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani. hal.181
210 Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus
2013
Masih. Yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw. Orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab
yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hen- daknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat
menyembah Tuhannya dengan
cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni tiada eogisme- agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber- Tuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama,
baik Islam, maupun Kristen dengan cara berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain.5
Pada
teks pidato yang dibacakan Soekarno di depan BPUPKI ini menem- patkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
sila terakhir dan menempatkan sila Kebangsaan pada sila pertama.
Penempatan urutan ini banyak menyim- pan
teka-teki bagi seluruh warga dari dulu hingga sekarang, bahkan beberapa kalangan menuduh bahwa
Soekarno adalah pemikir
sekuler. Bagi kalangan
normatif-tekstualis, penempatan sila Ketuhanan pada urutan terakhir
kurang tepat, sila Ketuhanan merupakan primakausa
dari sila-sila lainnya (hal.129).
Terlepas dari itu semua, Hamka Haq–penulis secara lugas menerangkan dalam bukunya bahwa
Soekarno tidak bermaksud “menyepelekan” urut-urut- an dengan menempatkan sila Ketuhanan pada sila terakhir.
Bila melihat pe- nempatan
sila Ketuhanan ini dari sisi kaca mata filsafat, Bung Karno meman- dang bahwa Ketuhanan merupakan final cause/ultimate cause
yang menjadikan Tuhan merupakan tujuan
akhir dari pengamalan dan pengabdian manusia di
dunia. Mengagungkan Tuhan tidaklah harus menempatkan atau menyebut na- manya
di awal kalimat. Dalam ideologi Islam, menyebut nama Tuhan, baik di awal maupun di akhir tidaklah menjadi masalah
bagi-Nya, karena semua arah dan tempat
adalah milik-Nya. Sebagaimana bunyi firman-Nya:
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang
Bathin; dan dia Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Ha-
diid [57]: 3). (Hlm.132).
Keselarasan
sila pertama Pancasila dengan syariat Islam terlihat dalam al-
Qur’an yang mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan,
5 Pidato
Bung Karno di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tanggal 1 Juni 1945 di Ja- karta.
Dalam Hamka Haq. 2011. Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam. Jakarta: RM Books
Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam 211
seperti dalam Surat al-Baqarah, ayat 163 yang memiliki arti; “Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan
Dia Yang Maha Murah, lagi Maha
Penyayang”.6 Konsep ini
menunjukkan bahwa dasar kehidupan bernegara rakyat Indonesia
adalah ketuhanan. Di dalam Islam,
konsep ini biasa disebut hablum
min Allah yang merupakan esensi dari tauhid berupa hubungan
manusia dengan Allah Swt.7
b. Sila Kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua dari Pancasila ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia meng- hargai dan menghormati hak-hak yang melekat
dalam diri pribadi
manusia tanpa terkecuali. Jika
hubungan manusia dengan Tuhannya ditunjukkan pada sila pertama, maka hubungan sesama
manusia ditunjukkan pada sila kedua.
Konsep Hablum min an-nass (hubungan sesama manusia) dalam bentuk saling menghargai
sesama manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang beradab.
Tidak ada perbedaan
dalam hak dan kewajiban sebagai
sesama manusia ciptaan
Tuhan, artinya tidak boleh ada diskriminasi antar umat manusia.
Berperilaku adil dalam segala hal merupakan prinsip
kemanusian yang terdapat
dalam sila kedua Pancasila, prinsip
ini terlihat dalam ayat al-Qur’an surat al-Maa’idah, ayat 8 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran). Karena Allah, menjadi
saksi de-
ngan adil
dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
ka-
rena adil itu lebih
dekat kepada takwa dan bertakwalah
kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
al-Maa’idah [5]: 8).
c. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Persatuan Indonesia yang merupakan bunyi sila ketiga
Pancasila menunjuk- kan kepada dunia bahwa persatuan merupakan dasar dibentuknya
negara In-
6 Syahbana,
Ali. 2012. Pancasila dan Keluwesan Ajaran. Dalam internet online:
http://
www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159-lang,id-c,kolom-t,Pancasila+dan
+Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx .Diakses tanggal, 22-2-2013.
7 Muttaqien, Sabilul. 2011. Keselarasan Nilai-Nilai Pancasila Dengan Ajaran
Islam. Dalam internet online:
http://blog.uin-malang.ac.id/dargombes/indonesia/keselarasan-nilai-
nilai-pancasila-dengan-ajaran-islam/index.html
212 Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus
2013
donesia. Persatuan Indonesia bukan dalam arti sempit saja, tetapi dalam arti luas bahwa seluruh
penduduk Indonesia diikat oleh satu kesatuan geografis
sebagai negara Indonesia. Adapun konsep persatuan dalam bingkai ajaran
Is-
lam meliputi Ukhuwah Islamiyah (persatuan sesama
muslim) dan juga Ukhuwah Insaniyah (persatuan sebagai sesama manusia). Kedua konsep tersebut hen- daknya berjalan beriringan agar tercipta masyarakat yang harmonis
dan jauh dari perpecahan dan pertikaian
karena perbedaan agama, suku, maupun ras.
Islam selalu menganjurkan pentingnya persatuan sebagaimana tercantum da- lam al-Qur’an;
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Al-
lah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu
dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Q.S. Ali Imran
[3]: 103).
“Orang-orang beriman
itu sesungguhnya bersaudara. Sebab
itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua sau-
daramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya
kamu menda-
pat rahmat.” (Q.S.
al-Hujurat [49]: 10).
d. Sila Keempat;
Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Sila keempat Pancasila yang menekankan pentingnya kehidupan yang di- landasi oleh musyawarah memang selaras dengan nilai luhur dalam ajaran Islam. Sikap bijak dalam menyelesaikan suatu masalah adalah dengan ber- musyawarah. Musyawarah merupakan jalan terbaik dalam mencari solusi dimana masing-masing pihak berdiri sama
tinggi tanpa ada perbedaan. Hasil dari musyawarah pun merupakan kesepakatan bersama yang harus dijalankan dengan penuh keikhlasan. Konsep Islam mengenai
musyawarah dalam me- nyelesaikan sebuah permasalahan dikenal
dengan nama syuura (musyawarah). Konsep ini tercermin dalam beberapa surat
dalam al-Qur’an, salah satunya da- lam
Surat Ali Imron, ayat 159:
Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam 213
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lem- but terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan ber- musyawarahlah dengan
mereka dalam urusan
itu. Kemudian apa- bila kamu tlah membulatkan tekad,
Maka bertawakkallah kepada
Al-
lah. Sesungguhnya, Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron [3]: 159).
“Dan (bagi)
orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tu- hannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputus- kan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. asy- Syuura [42]: 38).
e. Sila Kelima; Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam setiap sila Pancasila ternyata mengandung nilai-nilai keislaman, se- bagaimana sila kelima yang mengisyaratkan adanya keadailan dalam proses penyelenggaraan negara. Keadilan yang dapat
dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa
terkecuali oleh adanya
perbedaan agama, ras, dan sebagainya. Ajaran Islam memuat berbagai konsep
mengenai keadilan, baik adil terhadap
diri sendiri maupun orang lain. Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, misi besar Islam adalah
implementasi keadilan dalam
segala sendi kehidupan. Oleh sebab itu, Islam
memerintahkan umat muslim untuk selalu berbuat adil dalam segala hal dan menghindari pertikaian serta permusuhan agar tatanan sosial
masyarakat dapat tercipta
dengan baik. Sila kelima yang menekankan pada
keadilan sosial sejatinya merupakan cerminan dari konsep Islam mengenai keadilan. Mengenai keadilan dalam ajaran
Islam dapat dilihat pada al-Qur’an;
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia
memberi penga-
jaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (Q.S. an-
Nahl [16]: 90)
214 Millah Vol. XIII, No. 1, Agustus
2013
Pancasila Bukanlah Sesuatu
yang Sakral
Tapi satu hal yang perlu diingat
bahwa Pancasila bukanlah
sesuatu yang harus
disakralkan, ia adalah
buatan manusia yang tak lepas
dari kekurangan. Pen- sakralan
dan penyalahtafsiran yang terjadi selama ini akibat keegoan masing- masing penguasa dalam usaha untuk melanggengkan kekuasaannya di
bumi pertiwi. Dalam hal ini, bukan
berarti Pancasila tidak relevan dengan Indonesia sekarang sehingga harus
diganti demi menata
kembali negara ini. Pancasila tetap sesuatu
yang kontekstual selama ia diposisikan sebagai dasar negara tan- pa penafsiran yang sarat kepentingan individu. Kembali untuk
selalu diingat bahwa lahirnya Pancasila
adalah untuk menyatukan seluruh warga negara In- donesia
yang ber-Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
Penutup
Pada kesimpulan yang diambil dari
buku ini, Pancasila sebagai dasar negara
atau ideologi negara tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Islam. Se-
bagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam), Islam sangat
relevan dan fleksibel dalam segala bidang kehidupan. Islam mengatur
segala para pemeluknya dalam segala hal, baik itu kehidupan
individu maupun sosial
kemasyarakatan. Kedalaman nilai filosofis Pancasila yang merupakan
perwu-
judan dari nilai-nilai ajaran Islam hendaknya
memperkuat posisi kita sebagai negara
Indonesia yang beragama. Beragama yang berkeadaban dengan meng- hormati semua pemeluk agama yang ada, sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno. Oleh sebab itu, kita sebagai warga negara Indonesia
dan masyarakat yang beragama senantiasa melaksanakan, menjaga, dan meng- aplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, ber- masyarakat, dan beragama.
Buku ini bukanlah buku yang sempurna
dan lepas dari berbagai kesala- han,
masih terdapat beberapa kekurangan yang menjadi yang perlu diperbaiki dalam cetakan selanjutnya. Ada banyak kesalahan mendasar berupa kesalahan
typo sehingga mengganggu kenyamanan dalam membaca,
di antaranya: ber-
tentanagan, mengeritik (hal.18), lieratur (hal. 23), sebahagian (hal. 28, 30, 36, 40, 50, 75, 106, 107), besemilah (hal. 46), bahagian (hal. 51, 175, 184), bukanlan (hal. 70), pemandangarn (hal. 81), politk (hal. 83), kiyai (hal. 108), dialamai (hal.114), yarat
Book Review: Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam 215
(hal.151), sesame (hal. 162), apatah lagi (hal. 163), dianataramu (hal. 188), sepanjag
(hal. 192), washiat (hal. 199), shabat (hal. 212).
Terlepas dari beberapa
kekurangan yang ada, buku ini menambah kha- zanah
pemahaman mengenai Pancasila dalam kaitannya dengan Islam. Perde- batan yang selalu dinamis antara Pancasila dan Islam menjadikan dua hal terse- but
selalu menarik untuk selalu dikaji agar tidak terjadi friksi
berkepanjangan di antara penduduk
Indonesia. Kesatuan yang mengikat bangsa Indonesia se- bagai
sebuah negara hendaknya selalu dijaga demi keutuhan bangsa. Pro dan kontra akan selalu
terjadi karena Pancasila bukanlah kitab suci atau sesuatu
yang sakral, ia adalah hasil rumusan manusia yang bagaimanapun juga
nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya selaras dengan
kandungan ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Daras, Roso. TT. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945; Lahirnya Pancasila (ke-1).
Dalam
internet online: http://rosodaras.wordpress.com/2010/05/29/pidato- bung-karno-1-juni-1945-lahirnya-pancasila-ke-1-2/
Haq, Hamka. 2011. Pancasila 1 Juni dan
Syariat Islam. Jakarta: RM Books
Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Insan Madani
Syahbana, Ali. 2012. Pancasila dan Keluwesan Ajaran. Dalam internet online:
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159- lang,id-c,kolom-t,Pancasila+dan+Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx. Di- akses tanggal, 22-2-2013.
Muttaqien, Sabilul.
2011. Keselarasan Nilai-Nilai Pancasila
Dengan Ajaran Islam. Dalam internet online: http://blog.uin-malang.ac.id/dargombes/in- donesia/keselarasan-nilai-nilai-pancasila-dengan-ajaran-islam/index. html
Kompas. 2013.
Pancasila Makin
Dibutuhkan Bangsa Ini. Surat
Kabar Harian Kom- pas;
Edisi, Minggu, 2 Juni 2013. hal. 1
Comments
Post a Comment